JURNALMEDIA.ID – Pada tanggal 1 Februari 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghadiri acara peluncuran buku “Indonesia Menuju Kesejahteraan: Peran Infrastruktur Sosial” yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Dalam acara tersebut, Sri Mulyani menyampaikan pandangannya tentang pentingnya infrastruktur sosial bagi pembangunan Indonesia.
Sri Mulyani mengatakan bahwa infrastruktur sosial, seperti pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial, adalah faktor-faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM) suatu negara. SDM yang berkualitas adalah modal utama untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. Tanpa infrastruktur sosial yang memadai, SDM tidak akan mampu mengembangkan potensi dan kemampuannya secara optimal.
Sri Mulyani juga mengkritik pola pikir masyarakat yang lebih silau dengan infrastruktur fisik daripada infrastruktur sosial. Ia menilai bahwa hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, infrastruktur fisik lebih mudah dilihat dan dirasakan manfaatnya, sehingga lebih menarik bagi masyarakat. Kedua, infrastruktur fisik lebih sering menjadi bahan kampanye politik, karena biasanya diiringi dengan upacara pemotongan pita atau peresmian yang meriah. Sementara itu, infrastruktur sosial tidak terlihat secara langsung dan tidak ada upacara khusus yang menyertainya, sehingga kurang mendapat sorotan.
Sri Mulyani mencontohkan bahwa pembangunan jalan tol tidak akan bermanfaat jika tidak diikuti dengan peningkatan kualitas SDM yang dapat memanfaatkan jalan tol tersebut. Ia juga menekankan bahwa pembangunan infrastruktur fisik dan sosial harus seimbang dan saling mendukung. Ia mengatakan bahwa pemerintah akan terus mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur sosial, meskipun menghadapi tantangan akibat pandemi Covid-19.
Analisis dan Kritik Sri Mulyani
Pernyataan Sri Mulyani dapat dianalisis dari beberapa sudut pandang, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun politik. Dari sisi ekonomi, pernyataan Sri Mulyani dapat dipahami sebagai sebuah argumentasi yang berdasarkan pada teori pertumbuhan endogen. Teori ini menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara ditentukan oleh faktor-faktor internal, seperti investasi, inovasi, dan SDM. Investasi dan inovasi dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, sedangkan SDM dapat meningkatkan kreativitas dan kompetensi. Oleh karena itu, infrastruktur sosial yang dapat meningkatkan kualitas SDM adalah salah satu faktor kunci untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.
Dari sisi sosial, pernyataan Sri Mulyani dapat dipahami sebagai sebuah usaha untuk mengubah pola pikir masyarakat yang lebih mementingkan hal-hal yang bersifat materi daripada hal-hal yang bersifat non-materi. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata seperti “silau”, “gunting pita”, dan “meriah” yang menunjukkan bahwa masyarakat lebih terpesona dengan infrastruktur fisik yang tampak megah dan glamor, daripada infrastruktur sosial yang tampak sederhana dan biasa. Sri Mulyani ingin agar masyarakat lebih menghargai dan memperhatikan infrastruktur sosial yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka, daripada infrastruktur fisik yang hanya memberikan kesan semu dan sementara.
Dari sisi politik, pernyataan Sri Mulyani dapat dipahami sebagai sebuah kritik terhadap praktik-praktik politik yang lebih mengutamakan pencitraan daripada substansi. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata seperti “kampanye politik”, “upacara pemotongan pita”, dan “peresmian” yang menunjukkan bahwa infrastruktur fisik lebih sering dijadikan sebagai alat untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat, daripada sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sri Mulyani ingin agar praktik-praktik politik tersebut diubah, sehingga infrastruktur fisik dan sosial dapat dibangun secara seimbang dan saling mendukung, tanpa harus mengorbankan salah satunya.
Pernyataan Sri Mulyani juga dapat dikritik dari beberapa sudut pandang, baik dari sisi logika, data, maupun realitas. Dari sisi logika, pernyataan Sri Mulyani dapat dikritik sebagai sebuah kesalahan berpikir yang disebut dengan false dilemma. False dilemma adalah sebuah kesalahan berpikir yang menyajikan dua pilihan yang saling bertentangan, padahal ada pilihan lain yang mungkin. Dalam hal ini, Sri Mulyani menyajikan dua pilihan, yaitu infrastruktur fisik atau infrastruktur sosial, padahal ada pilihan lain yang mungkin, yaitu infrastruktur fisik dan infrastruktur sosial. Dengan demikian, pernyataan Sri Mulyani seolah-olah menggiring masyarakat untuk memilih salah satu jenis infrastruktur, padahal keduanya sama-sama penting dan saling berkaitan.
Dari sisi data, pernyataan Sri Mulyani dapat dikritik sebagai sebuah kesalahan berpikir yang disebut dengan cherry picking. Cherry picking adalah sebuah kesalahan berpikir yang memilih dan menonjolkan data atau informasi yang mendukung argumen atau pandangan tertentu, sementara mengabaikan atau menyembunyikan data atau informasi yang bertentangan atau tidak relevan. Dalam hal ini, Sri Mulyani memilih dan menonjolkan data atau informasi yang mendukung pentingnya infrastruktur sosial, sementara mengabaikan atau menyembunyikan data atau informasi yang mendukung pentingnya infrastruktur fisik.
Misalnya, Sri Mulyani mengatakan bahwa infrastruktur sosial dapat meningkatkan kualitas SDM, tetapi tidak menyebutkan bahwa infrastruktur fisik juga dapat meningkatkan kualitas SDM. Infrastruktur fisik, seperti jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, dan lain-lain, dapat memfasilitasi mobilitas, aksesibilitas, dan konektivitas antara daerah, sehingga dapat memperluas peluang dan pilihan bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan yang lebih baik. Infrastruktur fisik juga dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi, sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.