Scroll to Continue
Berita

Ironi Krisis Air Bersih di Negara Maritim

×

Ironi Krisis Air Bersih di Negara Maritim

Sebarkan artikel ini

Penulis Oleh : Ummu Fahhala, S. Pd.

(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

Advertisement
Advertisement

JURNALMEDIA.ID – Air merupakan salah satu kebutuhan vital bagi manusia. Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan hamparan lautan yang luas dan sumber air yang melimpah. Namun ironinya, banyak daerah yang bermasalah dengan penyediaan air bersih, termasuk di Jawa Barat.

Seperti penuturan Bey Machmudin Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat, bahwa “Jabar dihadapkan tantangan dalam penyediaan air bersih, irigasi pertanian, pengendalian banjir dan penyediaan air minum yang merata bagi seluruh masyarakat. Tantangan tersebut menjadi lebih rumit dalam konteks krisis perubahan iklim,” tuturnya dalam talkshow “Infrastruktur Air dan Krisis Iklim” pada Hari Air Dunia ke-32 di Aula Barat ITB, Kota Bandung, dilansir jabarprov.go.id Jumat 22 Maret 2024.

Kapitalisme Penyebabnya

Tidak hanya di Jabar, daerah lain bahkan negara lain pun memiliki masalah serupa. Problem terkait air bersih di tengah krisis perubahan iklim merupakan konsekuensi dari industri kapitalisme dan program pembangunan di dalam sistem kapitalisme yang tidak ramah lingkungan yang penting memberi keuntungan. Begitu pula akibat adanya kapitalisasi mata air.

Pada tahun 1992, Bank Dunia mengeluarkan kebijakan privatisasi air bersih, sebagaimana dipaparkan dalam jurnal improving water resources management, yang menyatakan penting adanya kebijakan untuk menetapkan harga sebagai mekanisme insentif dalam mendorong konsumen agar lebih efisien dalam penggunaan air bersih. Biaya operasional pihak yang mengelola penyediaan air bersih diganti dengan harga yang dibayar oleh masyarakat. Dengan demikian pemerintah tidak lagi memberikan subsidi, kebijakan inilah yang menjadi rujukan negeri ini dalam mengelola air bersih.

Baca juga:  Tradisi Perayaan Paskah Yang Identik Dengan Telur Paskah, Inilah Simbol, Asal Usul dan Maknanya

Bila ditelaah secara mendalam, tidak hanya aspek liberalisasi air bersih, aspek deforestasi dan liberalisasi mata air oleh pebisnis juga berkontribusi terhadap darurat kekeringan atau krisis air bersih di negeri ini. Semuanya memiliki peluang besar dalam sistem kehidupan sekuler, sebab sistem ekonomi kapitalis memandang air dan hutan sebagai barang komersial.

Solusi Islam

Sungguh Allah Swt mengingatkan kita dalam al-Quran surah ar-rum ayat 41, yang artinya “Telah tampak kerusakan di daratan dan lautan disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah Swt menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka agar kembali ke jalan yang benar.” Yang dimaksud kembali ke jalan yang benar disini adalah kembali pada syariat Allah Swt dalam mengatasi persoalan kehidupan, termasuk krisis air bersih dan darurat kekeringan.

Dalam mengatasi persoalan ini, syariat Islam berjalan di atas prinsip-prinsip yang sahih diantaranya adalah pertama, fakta hutan termasuk milik umum yang memiliki fungsi ekologis dan hidrologis yang dibutuhkan jutaan orang di seluruh dunia. Demikian pula sumber-sumber mata air yang berpengaruh luas terhadap kehidupan masyarakat. Karena itu pada hutan dan sumber-sumber mata air, sungai, danau dan lautan, secara umum melekat karakter harta milik umum.

Sebagaimana ditegaskan Rasulullah Saw artinya “Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput atau hutan, air dan api,” hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad. Status hutan dan sumber-sumber mata air, danau, sungai dan laut sebagai harta milik umum, terlarang dimiliki oleh individu, akan tetapi tiap individu publik memiliki hak yang sama dalam pemanfaatannya.

Baca juga:  Kementerian PUPR Bakal Segera Perbaiki Jalan Amblas di Cikereteg

Kedua, negara wajib hadir secara benar, sebagai pihak yang diamanahi Allah Swt, mengelola harta milik umum secara penuh dan bertanggungjawab. Rasulullah Saw bersabda bahwa “Imam laksana penggembala dan dia bertanggung jawab terhadap gembalaannya atau rakyatnya,” hadis riwayat Muslim. Negara dalam Islam tidak memiliki kewenangan dalam pemberian hak konsesi atau pemanfaatan secara istimewa terhadap sumber-sumber mata air, sungai, danau, laut dan hutan, kepada individu swasta atau asing.

Ketiga, negara berkewajiban mendirikan industri air bersih perpipaan sedemikian rupa, sehingga terpenuhi kebutuhan air bersih setiap individu masyarakat kapan pun dan dimana pun berada. Status kepemilikannya adalah harta milik umum, dikelola negara untuk kemaslahatan semua warga negaranya. Hal ini didasarkan pada kaidah bahwa status hukum industri dikembalikan pada apa yang dihasilkannya. Sehingga Industri yang mengelola kepemilikan umum, maka segala macam alat dan teknologi dalam industri tersebut menjadi milik umum pula.

Untuk semua itu, negara harus memanfaatkan berbagai kemajuan sains dan teknologi, memberdayakan para pakar yang terkait, seperti pakar ekologi, hidrologi, teknik kimia, teknik industri dan ahli kesehatan dan lingkungan, sehingga terjamin akses setiap orang terhadap air bersih secara gratis atau murah. Inilah sejumlah prinsip sahih untuk mengakhiri krisis air bersih dan darurat kekeringan, keseluruhan konsep ini merupakan aspek yang terintegrasi dengan sistem kehidupan negara yang menerapkan Islam secara menyeluruh (kafah). Telah terbukti sepanjang sejarah kegemilangan peradaban Islam, khususnya pada masa kekhalifahan Abbasiyah tidak pernah mengalami krisis air. (**)