BANJAR. JurnalMedia — Netralitas para pendamping desa di Kota Banjar kini menjadi sorotan. Beberapa pendamping desa diduga terlibat dalam politik praktis, sebuah tindakan yang bertentangan dengan aturan pemerintah mengenai larangan keterlibatan politik bagi pendamping desa.
Kekhawatiran ini diungkapkan oleh Sandi Mardiana Putra, seorang pemerhati pembangunan desa di Banjar. Ia menilai, keberadaan pendamping desa yang aktif dalam partai politik tertentu memicu pertanyaan serius mengenai proses seleksi dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah.
“Pendamping desa memiliki peran strategis dalam mendampingi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan. Mereka seharusnya bekerja secara objektif tanpa intervensi politik,” ujar Sandi dengan tegas.
Sandi menjelaskan, syarat utama untuk menjadi pendamping desa cukup ketat, di antaranya adalah Warga Negara Indonesia, berusia 20-35 tahun, dan memiliki pendidikan minimal D3 atau S1. Selain itu, calon pendamping desa juga diharuskan memiliki keterampilan dalam komunikasi, manajemen proyek, dan pemberdayaan masyarakat, serta menjunjung tinggi integritas dan kesehatan fisik yang prima.
Namun, kasus di Kota Banjar menunjukkan adanya indikasi pelanggaran terhadap prinsip netralitas tersebut. “Integritas ini tampaknya perlu dipertanyakan karena banyak pendamping desa yang justru aktif dalam partai politik tertentu. Ini jelas mengganggu objektivitas mereka dalam melaksanakan tugas,” tambah Sandi.
Sebagai mahasiswa yang peduli terhadap perkembangan daerah, Sandi menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem seleksi pendamping desa di Kota Banjar. Ia berharap pemerintah daerah lebih cermat dalam memilih pendamping desa yang benar-benar memenuhi kriteria, terutama dalam hal netralitas politik.
“Jika hal ini terus dibiarkan, kepercayaan masyarakat terhadap program pemberdayaan desa akan menurun, dan partisipasi masyarakat dalam program tersebut akan terhambat,” ungkapnya.
Sandi juga menyampaikan harapannya agar proses rekrutmen ke depan bisa lebih transparan dan terbuka. Menurutnya, kesempatan yang sama harus diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat tanpa ada intervensi politik dari partai tertentu.
“Pemerintah Kota Banjar harus lebih bijaksana dalam proses pemilihan pendamping desa agar dapat berkontribusi besar terhadap kemajuan dan kemandirian desa-desa di Banjar,” tutur Sandi.
Sebagai informasi, ketentuan mengenai larangan keterlibatan politik bagi pendamping desa tertuang dalam beberapa regulasi, di antaranya:
- Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kepmendes PDTT) Nomor 40 Tahun 2021, Pasal 1 tentang Kode Etik poin b, yang menyebutkan bahwa pendamping desa dilarang menjabat dalam kepengurusan partai politik.
- Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Permendes PDTT) Nomor 13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2021, yang menegaskan bahwa pendamping desa harus bersikap netral dalam menjalankan tugasnya.
Kasus ini diharapkan menjadi perhatian serius pemerintah setempat untuk menjaga profesionalisme dan netralitas pendamping desa dalam menjalankan fungsinya di masyarakat. (Ucup)