BANJAR. JurnalMedia – Seorang siswi SMP di Kota Banjar melahirkan bayi tanpa kejelasan status ayah. Hal tersebut memicu sorotan tajam terhadap efektivitas program Kota Layak Anak (KLA) dan lemahnya pengawasan pendidikan.
Peristiwa ini bermula saat siswi tersebut mengalami kontraksi dan segera dilarikan warga ke sebuah klinik setempat. Persalinan berjalan lancar, dan kondisi ibu serta bayi dilaporkan stabil. Namun, fakta bahwa kehamilan ini baru diketahui keluarga saat persalinan menandakan lemahnya komunikasi dan pengawasan, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat sekitar.
Berdasarkan penelusuran, seorang pemilik warung berinisial (E) yang berlokasi dekat sekolah mengungkapkan bahwa siswi tersebut kerap terlihat menjalin hubungan dengan seorang pelajar SMK di Banjar. (E) bahkan mengaku pernah menegur keduanya karena perilaku tidak pantas di tempat umum, seperti berpelukan di warung miliknya. Temuan ini menunjukkan adanya perilaku berisiko yang tidak terpantau oleh keluarga, sekolah, maupun komunitas.
Kepala SMP tempat siswi bersekolah, Muhdir, menyatakan bahwa pihak sekolah sempat menawarkan solusi agar siswi tersebut tetap melanjutkan pendidikan. Namun, ia memilih mengundurkan diri atas pertimbangan pribadi dan keluarganya. Meskipun sekolah menunjukkan itikad baik, langkah tersebut dinilai reaktif dan kurang mampu mencegah terulangnya kasus serupa.
Muhdir juga mengakui adanya laporan warga mengenai perilaku menyimpang siswa, seperti merokok dan berkumpul di tempat-tempat rawan, hingga tindakan asusila.
“Kami berjanji akan memperkuat pengawasan melalui pendidikan karakter dan agama, serta menyediakan jalur pendidikan alternatif seperti ujian kesetaraan. Namun, banyak pihak menilai langkah tersebut terlambat dan tidak menyentuh akar persoalan,” tegasnya.
Sementara itu, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Kota Banjar turut menyoroti kasus ini sebagai bukti kegagalan implementasi KLA. Ketua Umum HMI Banjar, Rio Julian, dengan tegas mempertanyakan komitmen Pemerintah Kota Banjar dalam mewujudkan perlindungan anak yang sesungguhnya.
“Predikat KLA seharusnya bukan sekadar simbol. Kasus ini menunjukkan adanya lubang besar dalam pengawasan, pendidikan, dan penegakan nilai moral di Banjar,” ujar Rio.
HMI menuntut reformasi menyeluruh, termasuk audit independen terhadap program KLA, penguatan kurikulum pendidikan karakter berbasis pendekatan psikologis dan sosiologis, serta peningkatan pengawasan di tempat-tempat rawan seperti warung dan area tongkrongan remaja. Mereka juga mengkritik minimnya program pencegahan, seperti edukasi kesehatan reproduksi dan konseling remaja, yang selama ini dinilai hanya seremonial dan tidak berdampak nyata.
Kasus ini bukan sekadar tragedi personal, melainkan cerminan kegagalan sistemik yang membutuhkan aksi cepat dan konkret. HMI mendesak pembentukan satuan tugas khusus untuk mengevaluasi pelaksanaan KLA, melibatkan akademisi, praktisi pendidikan, serta tokoh masyarakat. Mereka juga menuntut sanksi tegas bagi pihak-pihak yang lalai, termasuk sekolah yang gagal mendeteksi tanda-tanda masalah sejak awal.
Selain itu, masyarakat Banjar juga diajak untuk berintrospeksi. Warung-warung, tempat nongkrong, dan area publik lain sering kali menjadi “zona abu-abu” tempat remaja terpapar perilaku berisiko. Tanpa pengawasan aktif dan kesadaran bersama, kejadian serupa akan sulit dicegah.
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Kota Banjar belum mengeluarkan pernyataan resmi maupun langkah konkret sebagai respons atas kasus ini. Publik kini menanti: akankah Banjar mampu berbenah, atau terus terjebak dalam ironi predikat Kota Layak Anak yang sekadar hiasan tanpa makna?. (Ucup)