BANJAR, JURNALMEDIA.ID – Dalam Giat Media Gathering Sosialisasi Tahapan Pilkada 2024, yang di laksanakan di salah satu aula hotel di kota Tasikmalaya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) kota Banjar juga menghadirkan narasumber Dr. Nina Yuningsih, untuk menjelaskan tetang peran media dalam ajang Pilkada, dalam menciptakan Demokrasi yang berkualitas dan berintegritas.
Dr. Nina Yuningsih mengungkapkan bahwa dalam perjalanan nya persoalan yang mungkin saja akan timbul disaat perhelatan Pilkada.
” Pilkada sebagai area konflik yang dilegalkan menurut undang undang. Kita tidak bisa hindari perbedaan pandangan dan pendapat bahkan pendapatan dan perlu pemahaman bersama antara penyelenggara dan peserta di dalam memahami regulasi,” ungkapnya, Jumat malam (14/06/2024).
Menurut Dr. Nina penyelenggara mesti mampu bersinergi dengan Jurnalis atau dengan para awak media. Baik dalam proses maupun hasil dan itu bisa ditentukan oleh media dengan memberikan informasi yang akurat dan valid serta dapat dipertanggung jawabkan.
“Peran media sangat vital semua yang disajikan mampu menentukan opini di masyarakat. Sajian informasi edukatif dan informatif. Jujur dan Adil disebut dalam azas Pemilu dan Azas Penyelenggaraan,” ujarnya.
Nina melanjutkan media salah satu elemen masyarakat yang kritis yang ampu menggerakkan partisipasi masyarakat. Tidak hanya bentuk angka dan datang ke TPS. Di dalam proses masyarakat kritis, mulai dari pendaftaran hingga penetapan Daftar Pemilih.
” Banyak keuntungan yang didapat, akses informasi lebih baik dan mudah. Pengawasan juga didapatkan. Meskipun ada di ranah Bawaslu. Tetapi arti luas harus diawasi juga oleh semua masyarakat, termasuk pendidikan politik meningkat, dari bentuk kesadaran untuk menggunakan hak pilih. Itu output yang diharapkan Penyelenggara,” jelasnya.
Selain membahas peran penting media ia juga menyinggung tentang Dewan kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang diberi kewenangan untuk menerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi, serta menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi Penyelenggara Pemilu, dengan bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus yang timbul untuk popularitas pribadi.
” DKPP diberikan kewenangan ketika ditemukan ada penyimpangan etik, baik buruknya penyelenggaraan tergantung dari kualitas penyelenggara itu sendiri. Pemilu bergulir penyimpangan pasca reformasi tidak bisa dihindarkan. Banyak temuan pelanggaran dan kecurangan. La, banyak bentuk mal praktek dari penyelenggara itu sendiri. Sehingga kita ingin menstandarkan namun belum tercapai karena ada penyimpangan tersebut,”paparnya.
Jadi menurutnya secara prinsipil, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ini dibentuk dengan dasar menyederhanakan dan menyelaraskan serta menggabungkan pengaturan Pemilu.
” UUD Nomor 7 Tahun 2017, hadir mengkritisi posisi ini supaya kedepan tidak terulang kasus ini pada saat penyelenggaraan Pilkada,” pungkasnya. (Johan)