JurnalMedia – Infertilitas didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk hamil setelah satu tahun mencoba atau ketidakmampuan untuk membawa kehamilan hingga kelahiran hidup. Kondisi ini memengaruhi satu dari enam pasangan usia subur di Amerika Serikat, atau sekitar sepuluh juta orang.
Di wilayah dengan orientasi karier seperti Washington, di mana banyak pasangan menunda keputusan untuk memiliki anak hingga tujuan profesional tercapai, angka ini kemungkinan lebih tinggi. Meski begitu, masalah ini jarang dibicarakan dan bahkan kurang dipahami.
Bagi hampir semua pasangan, infertilitas datang sebagai kejutan. Hal ini tidak mengherankan, mengingat upaya besar-besaran untuk mencegah kelahiran yang tidak diinginkan. Setiap hari, sekitar 19,9 juta wanita di Amerika mengonsumsi pil KB. Di Tiongkok, wanita dengan lebih dari tiga anak dianggap sebagai ancaman negara. Di India, para ahli populasi khawatir jumlah penduduk negara itu akan meningkat empat kali lipat pada akhir abad ini, dari 250 juta pada tahun 1900 menjadi satu miliar jiwa. Negara tersebut bahkan melakukan sterilisasi cepat dengan hadiah uang tunai di stasiun kereta dan memasang poster “Dua Anak Cukup” di mana-mana.
Infertilitas bisa memengaruhi semua kelas sosial, tetapi pasangan dari kalangan kurang mampu seringkali tidak memiliki waktu atau biaya untuk menjalani serangkaian tes yang panjang, yang dikenal sebagai “work-up infertilitas,” guna mengetahui penyebab masalah mereka. Ada pula perbedaan dalam kesediaan seseorang dari berbagai kelas sosial untuk berkorban demi tujuan jangka panjang. Oleh karena itu, ketidakmampuan untuk memiliki anak tampaknya lebih sering menjadi masalah bagi pasangan kelas menengah dan atas.
Namun, rasa frustrasi akibat infertilitas diperkirakan akan meningkat dalam beberapa tahun mendatang. Anak-anak dari generasi baby boom yang kini memasuki usia akhir 20-an dan 30-an mungkin mendapati bahwa keputusan untuk menunda pernikahan dan memiliki anak demi karier justru membuat mereka tidak dapat memiliki anak.
Para pria, setelah bertahun-tahun merasa memiliki dorongan seksual yang sehat, mungkin terkejut mengetahui bahwa jumlah sperma mereka terlalu sedikit atau tidak cukup aktif untuk membuahi sel telur. Sementara itu, para wanita mungkin didiagnosis menderita endometriosis, suatu kondisi di mana jaringan lapisan rahim tumbuh di luar tempat seharusnya di saluran reproduksi. Kondisi ini tidak ditemukan di budaya di mana wanita menikah muda, tetapi menjadi masalah umum bagi wanita Amerika yang berusia di atas 30 tahun. Selain itu, ada wanita yang menjadi bagian dari 10,9 juta pengguna pil KB setiap hari, meski seharusnya riwayat kesehatan ginekologi mereka sudah cukup menjadi peringatan untuk tidak mengonsumsi obat tersebut.
Beberapa dekade lalu, sebelum teknologi medis berkembang pesat, banyak pasangan yang tidak bisa memiliki anak hanya diberi tahu bahwa tidak ada yang salah dengan mereka. Masalah ini sering dianggap sebagai persoalan psikologis atau bahkan takdir Tuhan. Tak jarang pula muncul pandangan meremehkan dari masyarakat, seolah-olah mereka tidak “melakukan hal yang benar” di ranjang.
Faktanya, impotensi pria hanya menyumbang kurang dari lima persen kasus infertilitas pada pria. Sumber impotensi pun sangat beragam, mulai dari diabetes, cedera saraf perineum, hingga penyebab psikogenik.