Lalu pada tataran leveling membangun kota, dengan alasan pulau Jawa itu sudah penuh sesak secara geografis, garis bencana dan sebagainya. Sedang untuk membangun kota terbuka, tidak bisa hanya diisi untuk orang kaya saja, tetapi inklusif dengan aneka ragam penduduk, baik dari etnis, agama, status sosial, warga lokal yang lama berdiam di sana tidak diusir. Dan cita-cita membangun kota baru harus lebih ramah dan canggih dari sebelumnya yaitu kota yang smart, green, rendah emisi. Jika masih sama standarnya, akan menjadi sia-sia.
Dengan harapan IKN menjadi world’s leading city (kota terdepan dunia) kota kelas dunia. Dalam era kapitalisme kota metropolitan erat dengan biaya hidup tinggi dan mahal. Besarnya biaya hidup dipengaruhi kemajuan ekonomi, minat wisata, hingga gaya hidup. Dengan biaya kebutuhan hidup tinggi apakah bisa ditanggung oleh semua warga negara yang notabene datang dari negara yang berkembang. Sebagai informasi menurut Badan Pusat Statistik (2018), kota termahal di Indonesia yang dinyatakan berdasarkan total rata-rata pengeluaran per kapita, peringkat pertamanya ditempati Jakarta total rata-rata pengeluaran per kapita sebesar Rp 4.446.770 dan total rata-rata pengeluaran rumah tangga sebesar Rp16.897.727. Peringkat kedua adalah Surabaya, rata-rata pengeluaran penduduknya sebesar Rp4.240.902 dan total rata-rata pengeluaran rumah tangganya sebesar Rp16.115.429.
Dapat disimpulkan secara finansial hanya orang yang mampu yang akan menempati kota modern alias orang kaya saja yang akan tinggal di IKN, sisanya masyarakat kelas menengah ke bawah masih menjalani kehidupan keras serba kekurangan. Andaikan IKN berhasil dibangun nantinya, justru rawan konflik selama sengketa lahan belum terselesaikan.
Kota dalam Pandangan Islam
Islam tidak membuat aturan yang kaku tentang definisi ibu kota yang ideal harus seperti apa, dahulu pun pernah terjadi pemindahan ibu kota kekhilafahan dari Madinah ke Kuffah, lalu Damaskus, kemudian Baghdah, Kairo dan Istambul, itu pun hanya teknis sebabnya. Inti dari semuanya adalah tidak adanya kezaliman yang muncul. Pemikiran Islam sampai pada tahap dalam membuat apa pun harus meningkatkan ketakwaan dari semua level, baik rakyat maupun pemangku kebijakan, termasuk membangun kota. Tujuannya agar rahmat Allah tidak terputus bagi semesta seluruh alam. Tidak boleh ada kezaliman pada alam, manusia dan generasi mendatang.
Dalam sirah teringat kisah Rasulullah saw. ketika mencari kota yang akan dijadikan pusat pelebaran umat dengan Islam, motivasi terbesarnnya mencari titik fokus dakwah agar dapat disebarluaskan dan menjangkau semua titik. Sehingga informasi dakwah menjangkau semua titik secara luas.
Rasul butuh perluasan medan dakwah dan butuh para penolong yang bersedia menyerahan kekuasaannya pada Islam dengan Rasul sebagai kepala negaranya. Makkah sudah tidak kondusif karena medan dakwah semakin sempit, lalu memilih Thaif karena potensial, yaitu ada di puncak gung menjamin perlindungan bagi yang tianggal disana, banyak tebing dan berbenteng, musuh sulit mengencurkannya, tapi misi dakwah ini gagal.
Akhirnya dipilihlah Yastrib (Madinah). Disana ada dua kelompok besar manusia, Arab musyrik dan kaum Yahudi yang bersaing ketat dalam meraih kepemimpinan. Rasul melihat jika mampu menarik salah satu kelompok dan setuju dengan ideologi Islam, maka potensi pelebaran dakwah semakin terang menemui masa depan kota ideologis bervisi keumatan. Dan benar saja kota Madinah berjaya di awal masa dakwahnya Rasul paska hijrah dari negeri suku Quraisy.
Demikianlah Rasulullah dilanjut para khulafa memilih kawasan terbaik dengan visi dakwah Islam diawal, sehingga Islam bisa mencapai tiga benua (Asia, Afrika, Eropa), jauh dari kepentingan ekonomi semata.
“Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri, sebelum Dia mengutus seorang rasul di ibu kotanya yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan (penduduk) negeri; kecuali penduduknya melakukan kezaliman.” Wallahu A’lam.